Kamis, 14 Juli 2011

MR. CAPPUCINO

Diposting oleh ANALOLIPOPPOP di 11.19

Main Cast: Doo Joon BEAST and Jung Sang Sun

Support Cast: BEAST memberdeul, Dokter

Genre: Tragic Romance

Rate: All

-Sang Sun-

Cape sekali hari ini setelah seharian mengerjakan tugas kampus. Aku memutuskan untuk menyegarkan otakku dengan mengunjungi kedai kopi favoritku. Aku memesan dua buah cappuccino, satu untukku, dan satunya lagi untuk kakakku yang biasanya akan duduk di sampingku menemaniku mengobrol. Meski sekarang dia sudah tidak mungkin menemaniku lagi, aku tetap membelikannya cappuccino itu, aku hanya ingin merasakan sedikit keberadaannya di sekitarku. Kepalaku pening, kacamata yang semakin tebal ini terasa berat sekali, aku melepasnya dan memandang nanar ke jalanan di depan kedai kopi ini. Aku melirik sekilas segelas cappuccino di depanku, membayangkan kebiasaan kakakku yang manggut-manggut mendengar ceritaku, atau menepuk-nepuk pundakku untuk menenangkanku. Sekarang, semua itu tidak mungkin pernah terjadi lagi. Aku mendesah.

“BRAAAAAK!” suara yang keras terdengar dari belakang punggungku. Aku menoleh untuk mencari sumber kegaduhan, seorang pria nampaknya menjatuhkan setumpuk buku ketika dia mencari tempat duduk. Kuperhatikan sekelilingku, wow sejak kapan kedai ini begitu rame, sudah tidak ada tempat duduk kosong tersisa. Aku menghampiri pria itu.

“Gwenchana?” tanyaku sambil membantunya memunguti bukunya yang tercecer. Buku-buku kuliah tentang cyber. Pria itu memandangku, “Gwenchana. Gamsahamnida.” Dia membungkuk setelah semua bukunya berhasil kami kumpulkan.

“Mau duduk? Di sampingku kosong kok,” kataku sambil menunjuk kursi di mana kakakku biasa duduk. Dia melihat sekilas kursi itu lalu mengerutkan dahi.

“Tapi itu sepertinya sudah ada yang menduduki?” tanyanya sambil memandangi gelas cappuccino.

“Oh, sekarang sudah tidak ada lagi. Itu cappuccino ku.” Kataku sambil kembali ke kursiku seraya meraih cappuccino kakakku, dan memberi isyarat pada pria yang ternyata berwajah lumayan tampan itu yang masih berdiri mematung mendekap buku-bukunya. “Mari sini,” seruku. Dia tergopoh-gopoh duduk di kursi sampingku. “Gamsahamnida.” Katanya sambil meletakkan buku-bukunya.

“Aku Jung Sang Sun.” kataku sambil mengulurkan tangan.

“Yoon Doo Joon.” Dia menjabat tanganku. Aku merasakan sesuatu seperti aliran listrik. Aku terkaget dalam hitungan cahaya yang sangat cepat melebihi suara Doo Joon yang menghilangkan aliran listrik itu, “Kuliah di sini juga?” tanyanya.

“Ah, ne..” aku tergagap. Aku melirik cappuccino ku, dan juga cappuccino kakakku.

“Kamu minum dua gelas cappuccino sekaligus?” Tanya Doo Joon menunjuk dua gelas cappuccino di depanku. Aku menggeleng. Doo Joon Nampak heran. “Terus?” tanyanya.

“Ini satunya harusnya buat kakakku, tapi dia tidak akan datang. Hehe. Belum diminum, kamu mau?” aku menyodorkan cappuccino yang seharusnya menjadi milik kakakku itu. Doo Joon Nampak terkejut, tapi dia menerima cappuccino itu dan meminumnya, “Gomawo,” katanya sambil tersenyum. Dan sekali lagi, aliran listrik itu merambat begitu cepat menyumbat urat-urat sarafku.

-Doo Joon-

Bikin kesal saja deh, setelah seharian latihan dance, aku masih harus masuk kuliah. Aku tergopoh-gopoh berlari menuju kedai kopi di kawasan kampusku, sambil membawa setumpuk buku bahan ujian cyber sore ini. Kepalaku pusing sekali, rasanya ingin meledak. Tapi aku tidak boleh kalah dengan rasa lelah. Aku hanya butuh segelas cappuccino panas.

Aku menyapu seluruh sudut kedai kopi, dan semua tempat duduk penuh, ah sial. Dengan bersungut-sungut aku bermaksud membeli segelas cappuccino dan membawanya ke perpustakaan, tapi belum sampai aku merealisasikan niatku aku tersandung kakiku sendiri dan menjatuhkan buku-buku sialan ini. Argggh. Rasanya aku sudah ingin memuntahkan stress dari ujung ubun-ubunku.

“BRAAAAAK!” aku yakin semua orang di sana tengah memandangiku, tetapi sedetik kemudian seorang gadis berwajah bulat berambut hitam lurus sepundak menghampiriku, menanyaiku “Gwenchana?” dan membantuku memunguti buku-buku cyberku, serta menawariku tempat duduk, bahkan memberikan segelas cappuccino milik kakaknya padaku.

Namanya Jung Sang Sun. Aku memperhatikan wajahnya, sekilas dia bukan tipe gadis yang akan didekati para pria. Bukan tipe gadis yang berwajah cantik, wajahnya biasa saja. Tapi matanya besar dan jernih, rambut hitamnya indah, dan wajah bulatnya begitu manis. Tidak seperti para trainee di mana groupku bernaung yang rata-rata berdagu runcing, berwajah kecil, mata sipit *seperti punyaku*, dan hidung mancung sehabis ditraitment. Gadis ini beda. Aku senang memandanginya.

“Jadi kamu jurusan cyber?” tanyanya padaku membuatku terperanjat.

“Ne.. kamu?” tanyaku penasaran, wajah gadis ini terbilang wajah pandai dan kutu buku.

“Sastra Inggris.” Jawabnya. Wow, aku berdecak kagum. Aku bahkan bahasa Inggris tidak begitu lancar. Hahaha. Aku menertawai diri sendiri.

“Biasa ke sini?” tanyaku sambil melirik tangannya yang memainkan kacamata berframe abu-abu, miliknya tentu. Tebal sekali, tanpa sadar aku mengerutkan dahiku.

“Iya. Apalagi pas suntuk.” Jawabnya sambil memakai kacamata abu-abu nya itu. Dia menatapku sekilas, aku terperangah. Gadis bernama Jung Sang Sun ini bahkan lebih cantik memakai kacamata. Karena gugup, aku memegangi jambangku. “Hahah, kamu mirip kakakku, suka memegangi jambang.” Dia tertawa renyah membuat hatiku semakin berdetak cepat. Perasaan apa ini?

[Beberapa hari kemudian….]

-Doo Joon-

Aku terburu-buru berlari menuju kedai kopi sehabis kelas. Ini nampaknya kebiasaan baruku, mengunjungi kedai kopi setiap sehabis kelas. Aku mendesah lega, melihat Sang Sun masih duduk di kursi biasanya sambil memandangi jalanan di depannya. Kali ini dia nampak lesu, kepalanya menempel di meja dan tangannya memainkan gelas cappuccino sementara kacamatanya ia biarkan tergeletak di depannya dan setumpuk buku di sampingnya. Aku membuka pintu kedai sambil memberi isyarat noona pelayan untuk membawakan segelas cappuccino ke kursiku. Aku sudah menjadi pelanggan di kedai ini. Haha, bagaimana tidak, hampir setiap sore aku ke sini.

Sedang apa sih gadis ini, lesu begitu. Aku memperhatikan Sang Sun yang nampak lemah tak bernyawa. “Sang Sunnie…” aku mendekatinya. Dia tetap terdiam. Aku duduk di kursi sampingnya “Sunnie yaaah…” bisikku sambil menyentuh pundaknya. Dia tetap tidak menjawab. Akhirnya aku memutuskan untuk melihat wajahnya, aku berdiri dari kursiku dan menuju sisinya. Aku terkaget melihat Sang Sun nampak tertidur dengan darah mengalir dari hidungnya. Aku gugup dan berteriak memanggil noona pelayan, “Noona, tolong… tolong saya…” seruku. Noona berlari tergopoh diikuti pelayan-pelayan yang lain.

“Agasshii… kenapa ini Doo Joon ahh?”

Aku hanya menggeleng-geleng. Aku meminta noona membantuku menaikkan Sang Sun ke punggungku, aku berniat menggendongnya ke dalam mobil, dan mengantarkannya ke klinik kampus.

-Sang Sun-

Ada bau obat yang begitu menyengat. Kepalaku pening, seperti habis dipukul palu berkali-kali. Mataku terbuka, pertama kali yang terlihat adalah tirai berwarna putih. Dimana aku? Aku berusaha duduk sembari memegangi kepalaku yang pusing ketika seorang pria menghampiriku.

“Sunnie yaaah, gwenchana?” tanyanya. Aku memandanginya. Sepertinya, aku tidak mengenal pria ini. Siapa sih dia ini?

“Kamu siapa?” tanyaku. Pria itu Nampak terkejut, matanya menyipit.

“Doo Joon. Yoon Doo Joon. Aku Doo Joon.” Katanya sambil memegangi dahiku, nampaknya dia mengecek apakah aku terkena demam.

“Doo Joon siapa?” tanyaku. Sumpah, aku tidak pernah merasa kenal dengan pria ini. “Aku sepertinya tidak kenal kamu.” Ucapku lirih.

“Sang Sun ahh, aku Doo Joon. Sudah seminggu kita minum cappuccino bersama setiap sore di kedai kopi.” Serunya sambil mengerjap-ngerjapkan mata, tidak percaya. Tiba-tiba kepalaku terasa berat sekali dan seperti kilasan flash back aku merasa melihat Doo Joon menjatuhkan buku-bukunya, menolongnya, menawarinya kursi, memberikan segelas cappuccino, dan sekelebatan kejadian setiap sore kami duduk berdua mengobrol sambil memesan dua gelas cappuccino. Aku memegangi kepalaku, sakit sekali rasanya.

“Apaaa…,” rintihku, tanpa sadar airmataku menetes, Doo Joon terkaget, dan memelukku.

“Apanya yang sakit, Sang Sun aahh?” tanyanya sambil masih memelukku erat.

“Doo Joon aahh, kepalaku sakit sekali.” Dia merenggangkan pelukannya, “Kamu ingat aku?” tanyanya lirih sambil mencari mataku yang meneteskan air mata. Aku mengangguk. Dia tersenyum menatapku, tangannya menghapus setetes air mata di sudut mataku. “Kita ke dokter?” tanyanya.

“Andwe… aku baik-baik saja,” jawabku sambil menahan sakit, “aku mungkin hanya kecapean.” Tambahku cepat.

“Jeongmalyoo?” tanyanya setengah tidak percaya. Aku hanya mengangguk. Doo Joon kembali memelukku sambil mengelus rambutku. Dan sakit kepala ini masih terasa.

-Doo Joon-

Ada yang salah dengan Sang Sun. Aku yakin. Seharian ini aku tak pernah sekalipun tidak memikirkannya. Aku tidak tahu apa hubunganku dengannya, yang jelas aku senang berteman dengannya. Setiap sore minum cappuccino, mengobrol tentang hal-hal konyol, atau hanya memandanginya belajar, atau bahkan hanya sekadar melihatnya tertidur setelah terlalu lama menunggu kedatanganku. Sang Sun membuat hariku sedikit berwarna.

“Hyung, kok melamun terus sih seharian?” Yeo Seob menghampiriku, “sebentar lagi kita latihan, hyung.”

“Ne.. araseo..” seruku sambil merangkul leher Yeo Seob.

“Ah… apaaaa, hyung…” seru Yeo Seob meronta-ronta. Aku jadi teringat ketika Sang Sun merintih kesakitan ketika dia pingsan dua hari lalu. Sebenarnya gadis itu sakit apa sih? Sampai kehilangan ingatan segala? “Hyung, lagi-lagi melamun…” Yeo Seob berhasil lepas dari rangkulanku.

“Ani..,” jawabku, “ayo latihan.” Aku menuju ruang latihan dance, tapi di dalam benakku masih memikirkan gadis itu, Jung Sang Sun.

Latihan berjalan lancar. Anak-anak Beast sudah pada mandi dan istirahat, aku memandangi ponselku. Entah kenapa aku ingin menelpon Sang Sun. Namun tidak ada keberanian di hatiku.

“Tuh kan hyung melamun terus.” Yeo Seob membisikki Jun Hyung yang sedang asyik mencoret-coret lirik lagu. Dia melirik Doo Joon sekilas, “Biarin deh, Seob ahhh..” ujarnya, kembali ke pekerjaannya.

“Hyung.. Hyung..,” sekarang Yeo Seob menghampiri Hyun Seung yang sedang mensisir rambutnya, “Doo Joon hyung kenapa sih, dia melamun terus..” Hyun Seung memandang Doo Joon, “Hyaa Seobie sana tidur sana! Bareng Dong Woon sana. Nanti kamu dimakan drakula loh *Hyun Seung kumat kebiasaan bohongnya*” Yeo Seob ngacir ke kamar, ngeri juga kalo dimakan drakula *hahahah*.

Aku terkekeh melihat tingkah teman-temanku ini. Aku beranjak dari sofa, dan meraih jaketku. “Jun Hyung, Hyun Seung, aku keluar dulu ya. Cari angin.” Pamitku pada Hyungie dan Seungie yang disambut dengan wajah penuh tanya oleh kedua temanku itu, yang lantas serentak menjawab “Ne..”

Di luar angin musim dingin terasa menusuk tulang. Aku berniat mencari kedai kopi terdekat ketika tiba-tiba ponselku bergetar tanda ada telpon masuk. Dari Sang Sun.

“Ya yeobeosseoyoo..” jawabku.

“Doo Joon ahh.. kamu di mana? Aku di kedai kopi…” suaranya terdengar berbeda, kenapa dengan anak ini.

“Kamu baik-baik saja kan, Sunnie yaahh?” tanyaku, khawatir.

“Neeee… kamu cepat ke sini, Doo Joon aahh..” suaranya aja kaya orang teler masih bisa bilang baik-baik saja.

“Hyaaa.. babooyaaa… jangan kemana-mana, aku segera ke sana.” Seruku sambil kembali masuk ke dorm, mengambil kunci mobil, dan secepat kilat keluar dorm. Kelakuanku membuat Hyung Seung adan Jun Hyung melongo, saling pandang satu sama lain.

-Sang Sun-

Aku menghabiskan berbotol-botol soju. Air mataku tak hentinya menetes. Aku takut mati. Aku tidak pernah ingin mati. Aku tidak pernah ingin mati seperti kakakku. Setelah umma appa meninggalkan kita berdua, aku dan Oppa berjuang mati-matian untuk bertahan hidup, dan sebulan lalu ia pergi meninggalkanku selamanya dengan diagnosa penyakit yang sama dengan yang aku derita ini. Penyakit yang belum pernah ditemukan di dunia medis.

“Maaf, Sang Sun ahh, ternyata penyakit ini menurun. Tapi kami belum pernah menemukan jenis penyakit ini. Sumsum tulang belakangmu sudah mulai rusak, kemampuan otakmu juga melemah, sama seperti yang dialami kakakmu, Jung Yong Hwa, serta kedua orangtua mu.” Dokter menjelaskan kondisiku.

“Lalu, lalu aku akan mati? Aku… aku… menemukan seseorang, dokter…. Aku tidak pernah mau mati.” Seruku histeris, air mata mengalir tak hentinya. Dokter hanya menggeleng.

Aku terduduk mendekap lututku sembari terus menangis. Kemana aku mengadu? Sebentar lagi Tuhan mengambil nyawaku. Aku memang berharap seperti itu sebelum bertemu Doo Joon. Sekarang semua berkata lain, aku tidak pernah ingin mati setelah bertemu dengannya. Tidak pernah. Sepertinya aku mabuk hingga tanpa sadar aku menelpon Doo Joon untuk menemuinya di kedai kopi yang sudah tutup. Entah kenapa aku ingin duduk di sini, di kedai kopi ini. Tiba-tiba, lampu sorot mobil mengenai wajahku. Itu mobil Doo Joon. Dengan tergesa-gesa pria tampan itu menghampiriku.

“Sunnie yaah.. kamu kenapa? Berapa banyak kamu minum?” dia nampak sangat khawatir. Aku senang sekali melihat wajah khawatirnya. Doo Joon memang tampan. Jariku mengelus wajahnya, pipinya, rahangnya, hidungnya, bibirnya, matanya, jambangnya, semuanya! Dan tanpa sadar airmataku menetes, “Mr. Cappuccino ku kamu tampan sekali,” gumamku. Doo Joon tidak menolak aku menyentuh setiap inci wajahnya. Tangannya mendekap wajahku, seperti mentransfer rasa hangat.

“Sunnie yaah, kamu dingin sekali…” serunya sambil melepas jaketnya.

“Andwee, Mr. Cappuccino, jangan lepas jaketmu, aku tidak mau kamu mati…” ucapku lirih, menolaknya melingkarkan jaketnya di tubuhku, tapi dia memaksa. “andweee…” gumamku.

“Kamu kenapa Sunnie yaaah? Gwenchana?” tanyanya sambil duduk di sampingku. Aku menatapnya, aku masih ingin merabai wajahnya. Mungkin aku tidak bisa melihatnya lagi besok.

“Aku kangen oppa ku…,” aku terisak. Doo Joon memandangku iba. “Jangan memandangku seperti itu.” Pintaku sambil mengusap air mataku yang tanpa henti berlinang.

“Aku akan menjadi oppa mu…” ucapnya sambil memelukku, menempelkan pipinya di dahiku. Aku menangis di dekapannya. “Aku juga akan menjadi Mr. Cappuccino mu, aku akan selalu duduk di sampingmu di kedai ini sambil mendengarkanmu bercerita, dan memandangimu tertidur.” Aku tertawa kecil.

“Doo Joon aaahhh, jangan pernah mencintaiku yaaa…”

-Doo Joon-

Jantungku nyaris keluar dari tempatnya, melihat Sang Sun ku yang setiap hari nampak kuat, sedang terduduk di luar kedai kopi yang sudah gelap seperti seekor kucing yang dibuang. Aku sudah tidak berpikir untuk memarkir mobilku dengan benar, aku meloncat dari mobil dan berlari menghampirinya. Wajahnya pucat pasi ketika mendongak menatapku, air mata membasahi wajahnya, dan pandangannya nanar, serta berbau soju. Aku tidak tahan memandangnya, aku nyaris membentaknya saking khawatir tapi urung ketika dia menyentuh wajahku, jemarinya seperti kayu yang rapuh, apakah bahkan gadis ini bernyawa? Kenapa dia begitu dingin?

“Mr. Cappuccino ku kamu tampan sekali,” ucapannya membuatku ingin menangis. Apakah dia sadar mengucapkan itu? Atau hanya karena mabuk? Aku memegang wajahnya yang sepucat mayat, dingin sekali. Dia bahkan menolak jaketku. Aku begitu khawatir, aku begitu menderita melihatnya seperti itu. Aku sadar, aku mencintainya. Aku mencintainya.

“Aku kangen oppa ku…,” rintihnya sambil terisak. Cukup. Aku tak tahan melihat wanita yang aku sayangi seperti ini.

“Aku akan menjadi oppamu.” Ucapku sambil memeluk gadis yang paling aku sayangi di dunia ini. “Aku juga akan menjadi Mr. Cappuccino mu, aku akan selalu duduk di sampingmu di kedai ini sambil mendengarkanmu bercerita, dan memandangimu tertidur.” Aku berniat untuk menyatakan cinta padanya ketika sedetik kemudian dia membuatku terperanjat dengan ucapannya.

“Doo Joon aaahhh, jangan pernah mencintaiku yaaa…”

Seoul Hospital

[Satu bulan kemudian…]

-Doo Joon-

Gadisku sedang terbaring lemah. Akhirnya aku tahu semua mengenai penyakit Sang Sun. Penderitaan yang dia alami diceritakan dengan jelas oleh dokter.

“Dia akan kehilangan kemampuan mengingat akibat kemampuan otaknya yang melemah. Dan penyakitnya akan menggerogoti kemampuan fisiknya. Penyakit ini langka, hingga kami, para dokter pun belum menemukan penyebab pastinya karena penyakit ini menyerang hampir seluruh organ tubuhnya. Jung Sang Sun agasshii adalah generasi terakhir dari keluarga Jung. Oppa dan appa-nya terkena penyakit yang sama. Setelah appa-nya meninggal, umma-nya sakit-sakitan dan meninggal. Selang setahun Yong Hwa, oppa-nya pun terdiagnosa terkena penyakit ini, dan dua bulan lalu tiada. Ternyata penyakit ini ganas hingga kami terlambat menyadari bahwa Sang Sun sshi juga terkena.”

Setelah malam di mana aku bertemu dengannya di depan kedai kopi, dan setelah ucapan menyakitkan dari Sang Sun, kami berdua tidak pernah bertemu. Bukan aku tidak ingin bertemu dengannya, tetapi aku tidak bisa menghubungi ponsel Sang Sun. Hingga suatu hari, nomor ponsel Sang Sun menelponku. Dengan hati bergetar, aku mengangkat panggilan telepon itu. Ternyata Dokter yang menelponnya.

“Mr. Cappucino? Apakah anda mengenal Jung Sang Sun?” tanyanya dari seberang telepon.

“Ne..” jawabku, “Anda siapa?” tanyaku.

“Saya dokter yang merawatnya..” jawabnya.

“Dokter? Dokter apa? Kenapa dengan Sunnie yaah?” tanyaku penuh rasa ingin tahu dan khawatir.

“Apakah Anda Yoon Doo Joon?” tanyanya lagi.

“Neee… saya..” jawabku, “kenapa dengan Sang Sun?” aku membentak saking tidak sabarnya.

“Segera lah datang ke Seoul Hospital. Sang Sun sshii sangat membutuhkan Anda, Doo Joon sshii.”

Dan di sinilah aku memandangi gadisku yang sudah tertidur selama sebulan. Wajahnya pucat pasi. Tetapi setiap malam, ia merintih memanggil-manggil namaku bergantian dengan nama oppanya. Dokter menemukan nomor ponselku bertuliskan “Mr. Cappucino” dan mencoba menelponku. Menurut dokter, jika ada orang yang disayangi berada dekat dengan pasien kemungkinan Sang Sun tersadar akan terjadi. Setiap hari aku menemaninya, menungguinya, dan merasa sesak ketika setiap malam aku mendengarkan suaranya merintih memanggil namaku. Babooya.., dia bilang untuk tidak mencintainya, tetapi dia menyebut-nyebut namaku setiap malam di tidurnya. Dia mencintaiku. Aku sudah tahu.

Member Beast memahami keadaanku, dan mencoba menutupi keadaan ini dari publik. Mereka bergantian membawakanku baju ganti. Aku minta ijin sama CEO perusahaan, aku tidak ingin meninggalkan sisi Sang Sun sedetik pun. Aku tidak akan akan pernah tahu kapan dia terbangun. Aku harus berada di sisinya terus.

[Pada suatu pagi…]

Aku tertidur di samping tempat tidur Sang Sun nampaknya sambil mendekap tubuh mungilnya, dan terbangun ketika merasa ada belaian lembut di rambutku. Aku tidak ingin mengakhiri perasaan nyaman ini. Aku hanya menggeliat, membiarkan belian lembut dan hangat ini menyapu jiwaku. Tetapi tiba-tiba seperti ada yang mengetok otakku pakai palu, aku seketika menoleh dan mendapati Sang Sun tengah memandangiku dan tersenyum.

“Kamu siapa?” tanyanya, aku nyaris menangis mendengar pertanyaannya. “Kamu Mr. Cappucino yang di mimpiku.” Ucapnya kemudian, masih mengelus rambutku, dan tersenyum manis sekali.

“Iya, aku Mr. Cappucino, kamu tahu namaku?” tanyaku. Dia menggeleng.

“Yoon Doo Joon, Mrs. Cappucino.” Ucapku sambil bangun dari posisiku, dan bergantian menggenggam tangannya. “Apakah di mimpimu kamu mencintaiku?” tanyaku. Dia mengangguk. Ada senyum tersungging di bibirku. Aku memeluknya.

“Doo Joon sshii, kamu lihat Oppa sedang duduk di dekatku?” aku terperanjat, dan memandang Sang Sun penuh tanda tanya. Apa yang gadis ini katakan? “Doo Joon sshii, di dalam mimpiku Mr. Cappucino belum pernah sekalipun menyatakan cinta padaku.” Gumamnya.

“Bagaimana kalau sekarang Mr. Cappuccino menyatakan cintanya?” ucapku sambil menggenggam jemarinya erat. “Sang Sun ahhh nan jeongmal saranghae…” ucapku lembut sambil mengecup keningnya.

“Doo Joon sshii, aku senang kenal denganmu. Di mimpiku kamu adalah pria pertama yang begitu berharga selain oppa dan appa..,” ucapnya sambil terisak lirih. Aku menghapus air matanya.

“Baboo yaaa… kamu itu lah perempuan berharga bagiku..” ucapku sambil mengecup bibirnya. Aku bisa merasakan Sang Sun tersenyum.

[Satu minggu kemudian…]

-Doo Joon-

Aku duduk di kursi biasa di mana aku dan Sang Sun menghabiskan setiap sore sehabis kelas, meminum cappuccino, tertawa, dan mengobrol. Aku membeli dua gelas cappuccino. Segelas untukku, dan segelas untuknya. Aku memandang jalanan di depanku nanar. Salju berjatuhan, musim dingin akan segera berakhir. Memang musim dingin tahun ini terasa sangat cepat berlalu dengan cinta yang selalu menghangat di hatiku.

“Kliiiiing…” pintu kedai terbuka, seseorang pria berwajah imut berlari-lari menghampiriku.

“Hyuuung, ayo latihan!” Yeo Seob menggeretku. Aku mengangguk, dan berdiri dari kursiku. Tersenyum pada kursi di mana Sang Sun biasa duduk.

Jung Sang Sun, aku akan selalu menyimpanmu di hatiku yang terdalam.

Tulisku pada kaca kedai depan tempat kami biasa duduk berdua sembari memandangi jalanan bersalju.

-END-

3 komentar:

Anonim mengatakan...

onnie~ saya pertama komen XD

bagus lho ffnya!!! aku suka bagian pengenalan, awal2nya itu, terus penggambaran isi hati tokoh2nya.
keseluruhan bagus cuma kayak kecepeten gitu alurnya hehehe
kalo dilamain mungkin lbh keren lagi *ditonjok dujun*
keep up the good work!! <3

Analolipoppop mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
ANALOLIPOPPOP on 15 Juli 2011 pukul 07.11 mengatakan...

hehehe... gomawo yaa... abisnya bikinnya sambil ngantuk sih jadi aku cepetin aja deh alurnya.. XD

Posting Komentar

 

kerokero-bosu! Copyright © 2009 Baby Shop is Designed by Ipietoon Sponsored by Emocutez